TEMPO.CO, Jakarta – Ekonom Institute For Development of Economics and Finance atau Indef, Esther Sri Astuti, menilai insentif pajak penjualan barang mewah atau PPnBM mobil tidak memiliki manfaat atau dampak bagi pertumbuhan ekonomi. Kebijakan itu justru menimbulkan banyak mudarat, mulai menurunnya penerimaan pajak hingga masalah lingkungan.
“Saya mengimbau pemerintah berfokus ke penanganan pandemi, jangan malah mengobral tax insentive (insentif pajak) karena tax ratio kita rendah,” ujar Esther dalam diskusi online Indef pada Selasa, 23 Februari 2021.
Berdasarkan simulasinya, penurunan pajak otomotif memiliki dampak nol persen terhadap pertumbuhan gross domestic product (GDP) riil, pengeluaran pemerintah, dan pengeluaran riil agregat. Kelonggaran ini pun hanya akan berdampak minim terhadap konsumsi rumah tangga sebesar 0,1 persen; indeks volume impor 0,46 persen; dan indeks volume ekspor 0,19 persen.
Esther memprediksi penjualan mobil setelah relaksasi PPnBM berlaku tidak akan meningkat signifikan. Sebab, pertumbuhan penjualan kendaraan sudah relatif tinggi dalam beberapa tahun terakhir, yakni 5 persen, tanpa ada insentif.
Dari sisi penerimaan pajak, Esther menduga terdapat potensi kehilangan penerimaan pajak sebesar Rp 2,28 triliun bila relaksasi berlaku. Di saat yang sama, kebijakan ini akan mengurangi pendapatan pajak daerah.
Selain mengganggu penerimaan pajak, insentif PPnBM berpengaruh terhadap masalah sosial dan lingkungan lantaran meningkatnya kemacetan bila terjadi peningkatan penjualan mobil. Tidak hanya di Jakarta dan sekitarnya, problem kemacetan akan dihadapi di kota-kota lainnya sehingga masalah polusi lingkungan bertambah.